Caleg Terpilih Tak Boleh Mundur ke Pilkada, Alif Turiadi Diprotes Warga Tenggarong

Kutai Kartanegara – Ketika Mandat Dipertanyakan Ribuan warga Kutai Kartanegara mencoblos nama Alif Turiadi dalam Pemilu Legislatif 2024, menempatkannya sebagai salah satu wakil rakyat yang akan duduk di DPRD Kukar. Suara yang datang dari pelosok desa hingga kecamatan ramai itu menjadi tiket politiknya. Namun, sebelum ia sempat mengemban amanah di parlemen daerah, langkah politiknya justru berbelok.
Nama Alif kembali mencuat, kali ini bukan sebagai legislator yang baru dilantik, melainkan sebagai calon wakil bupati dalam Pilkada 2024, berpasangan dengan Dendy Suryadi. Keputusan ini memicu pertanyaan besar di tengah masyarakat: apa arti suara rakyat jika mandat yang diberikan bisa begitu saja ditinggalkan?
Gugatan di Pagi yang Gelisah Sabtu pagi, 22 Maret 2025, Agus Setiawan membuka portal berita dan terhenti pada satu kabar mencengangkan. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan tegas: caleg terpilih dilarang mundur hanya untuk maju dalam pilkada. Putusan yang tertuang dalam perkara Nomor 176/PUU-XXII/2024 itu dibacakan sehari sebelumnya.
Agus tak tinggal diam. Ia segera menyusun dokumen dan bukti, lalu bergerak menuju Bawaslu Kutai Kartanegara. Tujuannya jelas: melaporkan dugaan pelanggaran yang dilakukan Alif Turiadi.
Dalil Hukum dan Implikasi Demokrasi Dalam laporannya, Agus mengacu pada putusan MK yang menyatakan bahwa caleg terpilih tidak boleh mengundurkan diri demi mencalonkan diri di pilkada, kecuali mendapat penugasan negara seperti menjadi menteri atau duta besar. Ia menegaskan bahwa pencalonan Alif sebagai wakil bupati melanggar aturan ini, mengingat statusnya masih sebagai anggota DPRD Kukar terpilih dari Partai Gerindra.
Bukti utama yang diajukan Agus adalah SK KPU Kukar Nomor 774 Tahun 2024 yang menetapkan perolehan kursi DPRD Kukar. Menurutnya, jika aturan ini diabaikan, bukan hanya Alif yang dipertanyakan, tetapi juga kredibilitas demokrasi lokal secara keseluruhan.
Tuntutan Diskualifikasi Tak berhenti pada laporan, Agus mendesak Bawaslu Kukar untuk merekomendasikan pencoretan Alif Turiadi dari daftar calon tetap (DCT) Pilkada Kukar. Ia menilai jika pencalonan ini tetap berjalan, maka pasangan Dendy-Alif berisiko terkena diskualifikasi di kemudian hari, baik melalui sengketa pilkada maupun gugatan hukum lainnya.
“Putusan MK itu final dan mengikat. Jika dibiarkan, ini bisa mencederai proses demokrasi kita,” tegas Agus.
Suara Rakyat, Moral Politik, dan Demokrasi Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pengunduran diri caleg terpilih demi pilkada bukan sekadar persoalan administratif, tetapi juga menyangkut moral politik. Dalam sistem proporsional terbuka, suara pemilih tertuju pada individu, bukan hanya partai. Jika figur yang dipilih rakyat mundur begitu saja, maka suara itu seolah ditiadakan.
“Ketika rakyat sudah memilih, maka calon terpilih wajib menghormatinya,” ujar Wakil Ketua MK, Saldi Isra.
Kasus Alif Turiadi bukan sekadar perdebatan hukum, melainkan cerminan arah demokrasi lokal. Jika suara rakyat bisa begitu mudah dikesampingkan demi ambisi politik, maka kepercayaan terhadap demokrasi pun kian rapuh. Dan jika putusan MK tak ditegakkan, pemilu tak lebih dari sekadar panggung transaksional bagi para elite.